Pagi itu, di kota pelabuhan Tangier, kami membuka mata dengan semangat baru. Sarapan terasa lebih cepat dari biasanya—mungkin karena kami tak sabar menyambut petualangan yang akan membawa kami menyeberangi Laut Mediterania, dan menginjakkan kaki di Spanyol—tanah yang pernah menjadi pusat peradaban Islam selama lebih dari tujuh abad.

Sinar pagi menyinari Pelabuhan Tangier, tempat kami naik ferry untuk menyeberang ke Benua Eropa. Saat kapal mulai meninggalkan dermaga, kami berdiri di dek, menatap ombak biru keperakan yang memisahkan Afrika dan Eropa.
Inilah rute yang dulu ditempuh Tariq bin Ziyad saat memulai penaklukan ke Al-Andalus pada tahun 711 M. Angin laut mengibarkan jilbab dan jaket kami, seolah menghidupkan kembali semangat penjelajahan masa lalu.

Beberapa jam kemudian, daratan Spanyol menyambut kami.
Selamat datang di Andalusia.
Rasanya seperti melintasi waktu: dari souk Maroko ke jalan-jalan lebar bergaya Eropa yang elegan. Perjalanan darat membawa kami langsung menuju Seville, salah satu kota paling ikonik dalam sejarah kejayaan Islam di Spanyol.

Setibanya di Seville, kami langsung makan siang—hidangan khas Andalusia dengan cita rasa Eropa Selatan yang ringan namun penuh karakter. Setelah itu, kami memulai city tour yang menawan.

Perhentian pertama adalah Parque Maria Luisa, taman kota luas yang rindang dan romantis. Pepohonan tinggi menaungi jalan setapak, air mancur menari, dan bangku-bangku batu tersebar seperti undangan untuk berhenti sejenak. Di sinilah terasa tenangnya Seville—kota yang menyimpan sejuta cerita.

Kami kemudian menuju Plaza de España, alun-alun megah berbentuk setengah lingkaran, dibangun untuk pameran internasional tahun 1929. Kanal kecil mengalir di tengah-tengah, dan jembatan-jembatan mungil mempertemukan sisi-sisi bangunan dengan gaya arsitektur Neo-Moorish.
Di sini, kami seperti berjalan di antara mozaik sejarah: di dindingnya terdapat ubin-ubin bergambar setiap provinsi Spanyol—dan jejak Islam terpahat dalam setiap lengkungan dan ornamen bangunannya.

Lalu kami singgah di Torre del Oro, menara emas di tepi Sungai Guadalquivir yang dulunya berfungsi sebagai menara pengawas dan penyimpanan harta. Dan terakhir, kami berhenti di depan La Giralda, menara yang dulunya adalah menara masjid agung Seville, kini menjadi bagian dari katedral megah.
Meskipun kini berubah fungsi, arsitektur Islam-nya masih hidup: menara bertingkat yang dulunya digunakan muadzin untuk adzan, tangganya landai karena dirancang agar kuda bisa naik ke puncak.

Hari menjelang malam. Makan malam disajikan hangat—perut kenyang, hati penuh. Dan saat check-in ke hotel, kami menyadari satu hal:
Kami sedang menyusuri jejak besar, menapaki sejarah Islam yang pernah menyinari Eropa dengan cahaya ilmu, seni, dan keindahan.

“Dari seberang laut, kami tiba di tanah Andalusia—dan setiap langkah terasa seperti menyambung kembali kisah agung yang sempat terlupa.”