Matahari pagi menyinari jendela kamar hotel kami di Seville—hari ini kami harus melanjutkan perjalanan panjang menuju barat, melintasi daratan Iberia menuju sebuah kota yang pernah disebut Al-Ushbuna dalam catatan sejarah Islam: Lisbon, ibu kota Portugal.

Setelah sarapan dan check-out, kami naik ke dalam bus yang nyaman, bersiap untuk perjalanan darat sejauh 5 jam. Di sepanjang jalan, lanskap Andalusia berubah perlahan—dari dataran zaitun menuju bukit-bukit hijau, dari rumah bergaya Moor ke bangunan khas Portugis yang penuh ubin warna-warni.

Saat akhirnya kami memasuki kota Lisbon, ada perasaan yang sulit dijelaskan—seolah kota ini diam-diam menyimpan banyak cerita, namun tak pernah terburu-buru untuk membisikannya.

Setelah makan siang, kami memulai city tour.
Perhentian pertama adalah Belem Tower, menara pertahanan yang berdiri gagah di tepi Sungai Tagus. Dulunya, tempat ini menjadi titik awal pelayaran para penjelajah Portugis ke dunia baru. Namun tak banyak yang tahu, bahwa sebelum era kolonialisme, wilayah ini pernah menjadi bagian dari kekuasaan Muslim yang membentang di Semenanjung Iberia.

Tak jauh dari sana, kami berhenti di Monument to the Discoveries—monumen raksasa berbentuk kapal layar yang menghadap ke lautan luas. Patung-patung besar menggambarkan tokoh-tokoh pelaut dan ilmuwan Portugal, berdiri seolah menatap ke cakrawala. Namun di balik kemegahannya, aku terdiam, membayangkan betapa dahulu, pelaut Muslim juga berlayar dari wilayah ini, mengembangkan ilmu navigasi dan membuka jalur dagang ke Timur.

Kami lanjutkan perjalanan ke Rossio Square dan Praca do Comercio, dua alun-alun utama yang menjadi denyut nadi kota Lisbon. Jalan-jalan dipenuhi trem kuning klasik, bangunan pastel bertingkat, dan suara musisi jalanan yang mengalun lirih. Lisbon terasa seperti perpaduan antara elegansi Eropa dan kehangatan Mediterania.

Namun momen paling menyentuh hari ini adalah saat kami mengunjungi Lisbon Central Mosque, masjid utama kota ini. Kubah putih dan menara rampingnya tampak damai di antara gedung-gedung modern. Di sinilah kami berhenti sejenak dari keramaian, mengambil wudhu, dan bersujud di tempat yang sunyi namun menenangkan.

“Alhamdulillah,” bisikku dalam hati. Di tengah negara yang minoritas Muslim, kami tetap menemukan ruang untuk beribadah. Rasanya seperti pulang, meski jauh dari rumah.

Sore menjelang malam, kami diberikan free time di pusat kota Lisbon. Sebagian dari kami menikmati kopi dan kue pastel de nata yang terkenal, lainnya menyusuri toko-toko suvenir, atau sekadar duduk di pinggir jalan sambil menyerap suasana kota yang menawan ini.

Makan malam menjadi penutup hari, lalu kami check-in ke hotel. Hari ini, tubuh mungkin lelah, tapi pikiran kami terisi. Lisbon bukan sekadar ibu kota Eropa—ia adalah titik pertemuan masa lalu dan masa kini, timur dan barat, Islam dan Eropa, dalam satu harmoni yang diam tapi bermakna.

“Di batas barat dunia lama, kami menyadari: sejarah bukan hanya milik yang ditulis dengan suara keras. Ia juga hidup dalam bisikan, dalam batu, dan dalam menara kecil di tengah kota modern bernama Lisbon.”