Pagi itu, udara Granada terasa lebih dingin dari biasanya—entah karena suhu, atau karena kami tahu, kami akan segera berpisah dengan kota yang telah memberi kami begitu banyak rasa.

Setelah sarapan dan check-out, kami melangkah menuju mahakarya terakhir kejayaan Islam di Spanyol: Alhambra Palace dan Generalife Gardens.

Dan seperti mimpi yang menjadi nyata, Alhambra menjulang di hadapan kami. Sebuah benteng, istana, dan puisi batu yang dibangun oleh dinasti Nasrid.
Setiap sudutnya adalah keindahan yang nyaris sempurna—dinding-dinding berukir kaligrafi, pilar-pilar anggun yang menopang keheningan, kolam-kolam bening yang memantulkan langit biru.
Di taman Generalife, tempat para khalifah dulu beristirahat dan merenung, kami berjalan perlahan. Seolah alam pun bersekongkol untuk membuat kami lebih lama tenggelam dalam harmoni antara arsitektur, cahaya, dan ketenangan spiritual.

Namun waktu tak bisa dihentikan.
Dengan hati yang berat, kami meninggalkan Granada dan melanjutkan perjalanan menuju Toledo, kota yang dalam sejarah dikenal sebagai “kota tiga agama”—tempat di mana Islam, Kristen, dan Yahudi pernah hidup berdampingan.

Kami berhenti di Mirador del Valle, tempat terbaik untuk melihat seluruh kota Toledo dari ketinggian. Sungai Tagus membelah daratan, mengelilingi kota seperti pelukan waktu. Dari atas sini, kami bisa melihat gereja-gereja tua, sinagoga, dan menara-menara masjid yang kini menjadi museum.
Ada semacam kesedihan yang diam-diam menyusup di antara kagum dan syukur—karena dari sinilah Islam mulai benar-benar berakhir di Semenanjung Iberia.

Kami pun mengunjungi Masjid Bab al-Mardum, salah satu masjid tertua di Toledo, yang kini menjadi simbol—bukan tempat ibadah. Tapi justru di situlah kami merasa: bahwa jejak Islam tidak benar-benar hilang, hanya bersembunyi dalam bisu batu-batu tua yang masih berdiri.

Setelah makan siang, kami lanjut menuju Madrid—ibu kota Spanyol yang modern, ramai, dan terang.
Waktu telah membawa kami dari kejayaan masa lalu menuju kemegahan masa kini. Tapi kami tak kehilangan arah, karena kisah yang kami bawa jauh lebih penting dari tempat itu sendiri.

Makan malam malam itu diwarnai oleh dua rasa: kelegaan karena kami berhasil menyusuri Andalusia dengan mata dan hati yang terbuka, dan kerinduan—karena sebagian dari jiwa kami telah tinggal di Granada, di Cordoba, di Alhambra, di menara-menara yang kini sunyi.

“Kami datang sebagai turis, tapi pulang sebagai saksi. Bahwa Islam pernah bercahaya, tidak dengan pedang, tapi dengan ilmu, seni, dan kasih sayang. Dan hari ini, cahaya itu telah kami bawa pulang dalam hati kami.”