Pagi itu, setelah sarapan dan check-out dari Seville, ada semacam keheningan yang menyelimuti rombongan kami. Bukan karena lelah, tapi karena kami tahu—hari ini adalah perjalanan menuju dua kota yang menjadi pusat gemerlapnya peradaban Islam di Eropa: Cordoba dan Granada.
Perjalanan darat membawa kami menuju Cordoba, kota kecil yang tenang namun menyimpan warisan intelektual dan spiritual yang luar biasa. Begitu tiba, langkah kami langsung tertuju pada bangunan yang membuat mata tak ingin berkedip:
Mesquita de Cordoba.
Dari luar, ia tampak seperti katedral. Tapi begitu melangkah ke dalam, hati kami bergetar.
Pilar-pilar merah-putih yang tersusun rapi, cahaya redup dari lampu gantung, dan lengkungan-lengkungan megah yang seolah menyambut doa dari setiap zaman—semuanya berbicara dalam bahasa yang tak butuh suara.
Mesquita adalah saksi kejayaan Islam di abad ke-10, ketika Cordoba menjadi kota paling berpengaruh di Eropa, dengan ribuan perpustakaan, universitas, dan rumah sakit.
Kami berjalan dalam diam, membayangkan saat para ulama besar berdiskusi di lorong-lorong ini, saat muadzin mengumandangkan azan dari menaranya, sebelum akhirnya menara itu diubah menjadi menara lonceng gereja.
Tak ada amarah, tak ada luka. Hanya kekaguman—bahwa warisan Islam di Andalusia masih hidup, meski dalam bentuk yang berbeda.
Tak jauh dari situ, kami menyeberangi Bridge of Musa Ibn Nusayr, jembatan tua yang melintasi Sungai Guadalquivir. Nama Musa bin Nushair adalah bagian penting dalam sejarah penaklukan Andalusia, bersama Tariq bin Ziyad. Di sinilah kami benar-benar menyatu dengan perjalanan spiritual dan historis yang kami mulai dari Maroko beberapa hari lalu.
Kini kami berada di titik-titik nyata sejarah itu.
Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju kota terakhir dalam rangkaian Andalusia kami: Granada. Kota ini tidak hanya indah, tapi juga menyimpan detik-detik terakhir kejayaan Islam di Spanyol.
Kami menjelajahi Albayzin Quarter, kawasan tua di perbukitan yang dihiasi rumah-rumah putih, jalanan batu sempit, dan balkon-balkon kecil berisi bunga. Di sinilah para keturunan Muslim tinggal ketika Islam mulai kehilangan kekuasaan atas Andalusia.
Menjelang senja, kami sampai di viewpoint Albayzin—dan di sanalah Masjid Agung Granada (La Mezquita Mayor de Granada) berdiri anggun, dengan Alhambra terlihat megah di kejauhan.
Pemandangan itu adalah sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Matahari mulai turun perlahan, mewarnai langit dengan warna oranye keemasan, dan kami hanya berdiri, diam, menyaksikan sejarah, keindahan, dan kehilangan dalam satu panorama.
Makan malam malam itu terasa syahdu. Tidak banyak obrolan, tapi wajah-wajah kami menunjukkan kekaguman dan rasa syukur.
Setelah check-in ke hotel, kami istirahat dalam keheningan Granada yang sejuk. Tapi batin kami tak lagi sama.
“Hari ini, kami tidak sekadar melihat bangunan tua. Kami menyentuh warisan peradaban, kami mendengar bisikan doa yang menggema sejak seribu tahun lalu. Dan kami sadar—Islam pernah menyinari dunia dari tanah Andalusia ini.”
0 Comment