Pukul 02.15 dini hari, pesawat Etihad EY 757 lepas landas dari Abu Dhabi, membawa kami menuju tanah impian: Maroko. Di luar jendela, langit masih pekat. Tapi hati kami hangat—dipenuhi harap dan rasa penasaran akan jejak sejarah dan warna-warni kehidupan yang menanti di benua Afrika.

Saat pesawat mendarat pukul 07.25 pagi waktu setempat di Bandara Casablanca, matahari menyambut dengan sinar keemasan yang menembus jendela bandara. Ini pertama kalinya aku menjejakkan kaki di Maroko—dan sejak awal, ada aroma yang berbeda di udara. Bukan cuma aroma rempah, tapi juga aroma petualangan.

Setelah proses imigrasi, kami disambut oleh local guide yang langsung membawa kami menuju Marakesh, kota penuh legenda yang berjarak sekitar 3,5 jam perjalanan. Di sepanjang jalan, hamparan dataran Maroko terbentang luas: rumah-rumah tanah liat, pohon zaitun, dan langit biru yang seperti tak berujung. Mobil kami menyusuri jalanan gurun sambil dibalut semilir angin hangat yang seolah menyapa, “Selamat datang di Afrika.”

Setibanya di Marakesh, kami langsung memulai city tour.
Perhentian pertama adalah Bahia Palace, istana megah dari abad ke-19 yang dulunya menjadi simbol kekuasaan dan kemewahan bangsawan. Dindingnya penuh ukiran dan keramik berwarna cerah. Lorong-lorongnya membawa kami membayangkan kehidupan para raja dan ratu zaman dahulu, lengkap dengan taman rahasia dan mata air di tengah-tengahnya.

Lalu kami singgah ke Menara Gardens, taman hijau yang tenang dengan kolam reflektif yang pernah digunakan para sultan untuk bersantai. Di tengah udara Maroko yang kering, tempat ini terasa seperti oase.

Waktu makan siang tiba—dan ini pengalaman tak terlupakan. Makanan Maroko sungguh kaya rasa: tajine ayam lemon, couscous lembut, dan roti pipih hangat yang disajikan dengan zaitun dan teh mint. Rasanya, seperti pelukan hangat dari dapur nenek yang belum pernah kukenal sebelumnya.

Setelah itu, kami mengunjungi Masjid Koutoubia, ikon kota Marakesh yang menawan. Meskipun hanya umat Muslim yang bisa masuk, tapi hanya berdiri di pelatarannya saja sudah memberi sensasi spiritual. Menaranya menjulang tinggi, menjadi penanda arah bagi seluruh kota.

Menjelang sore, kami menuju Jemaa el-Fnaa, alun-alun yang hidup dengan pedagang kaki lima, musisi jalanan, tukang ramal, penjual jus jeruk segar, dan aroma rempah yang menguar dari segala penjuru. Tempat ini bukan cuma pasar—tapi panggung kehidupan yang berdenyut.

Tak lupa kami mampir ke toko rempah tradisional, Spicy Pharmacy, yang menawarkan segala hal mulai dari parfum alami, minyak argan, sampai campuran herbal khas Maroko yang katanya bisa menyembuhkan segala. Serunya, para penjualnya seperti ahli sihir yang sedang bercerita, dan kami pun terbawa dalam pesonanya.

Hari ditutup dengan makan malam hangat dan check-in ke hotel. Tapi tubuh kami belum ingin benar-benar beristirahat—terlalu banyak rasa syukur dan kekaguman yang masih mengendap di dada. Hari ini adalah awal dari perjalanan panjang, dan Maroko telah memberikan sambutan yang begitu berkesan.

“Di hari pertama kami menjejak Afrika, bukan hanya kaki yang berjalan—tapi hati juga diajak mengembara.”