Pagi itu Lisbon masih mengantuk saat kami bersiap meninggalkannya. Setelah sarapan dan check-out, koper kembali disusun, dan kami kembali menempuh perjalanan darat menuju Seville, kota yang sudah kami kenal—tapi kali ini terasa berbeda.
Meninggalkan Lisbon seperti melepas pelukan yang tenang, lalu kembali kepada seseorang yang lebih penuh gairah dan cerita: Andalusia.
Perjalanan ini membawa kami kembali melintasi perbatasan Spanyol, menyusuri perbukitan dan desa kecil yang tersebar seperti bintik-bintik sejarah. Dan ketika akhirnya kami memasuki kembali kota Seville, rasanya seperti pulang ke tempat yang belum selesai kami pahami.
Setelah makan siang, kami langsung menuju landmark yang tak boleh dilewatkan: Royal Alcazar of Seville—kompleks istana yang menjadi lambang percampuran budaya Islam, Kristen, dan Yahudi.
Meskipun hanya photo stop, berdiri di depan gerbang megahnya saja sudah cukup membuat hati terpukau. Dindingnya dihiasi ukiran kaligrafi dan motif geometris khas arsitektur Islam. Di dalam, lorong-lorong rahasia, taman simetris, dan air mancur halus menjadi saksi sejarah panjang yang pernah terjadi di tanah ini.
Alcazar adalah tempat di mana seni bertemu spiritualitas, dan sejarah tidak ditulis oleh satu tangan saja. Jejak Islam masih terasa hidup di setiap sudutnya—dan meskipun waktu terus berjalan, mereka tetap bertahan, seperti kenangan yang tidak mau dilupakan.
Setelah itu, kami menjelajahi old city Seville, labirin jalan sempit yang dipenuhi bangunan antik, balkon dengan bunga menggantung, dan pintu-pintu kayu yang menyimpan rahasia masa lalu. Di sinilah kami diberikan waktu free time untuk shopping—sebagian dari kami berburu kerajinan tangan khas Andalusia, keramik berwarna cerah, syal bermotif Alhambra, dan tentu saja suvenir penuh mozaik Arabesque.
Ada juga yang memilih untuk duduk di kafe kecil, menyeruput café con leche sambil mengamati orang-orang lalu-lalang. Di kota ini, waktu seperti melambat. Seville tidak pernah terburu-buru. Ia hanya menunggu kita untuk menghayati tiap momennya.
Malam pun tiba. Kami berkumpul kembali untuk makan malam—kali ini penuh cerita dan tawa. Ada yang bercerita tentang toko parfum halal yang ditemukannya, ada yang terharu karena mendengar lantunan azan dari musala kecil di sudut gang.
Lalu kami check-in ke hotel, dan malam Seville menyelimuti kami dalam diam.
“Hari ini kami kembali, tapi tidak dengan hati yang sama. Seville telah berubah—atau mungkin, kamilah yang kini lebih mampu melihat kedalamannya.”
0 Comment