Pagi itu, matahari Casablanca menyinari kota pelabuhan yang baru saja kami kenal. Setelah sarapan dan check-out, koper kami kembali disusun, dan roda-roda kendaraan mulai berputar menuju destinasi selanjutnya: Rabat, ibu kota negara yang penuh ketenangan dan wibawa.
Begitu memasuki Rabat, terasa perbedaannya—kota ini tidak sesemrawut Marrakesh, tidak sepadat Casablanca. Rabat tenang, bersih, dan teratur. Ada aura kebangsawanan yang sulit dijelaskan, seolah kami sedang masuk ke halaman depan Maroko yang paling resmi.
Kami memulai city tour di Royal Palace, istana resmi Raja Maroko. Meski tidak bisa masuk ke dalam, tapi hanya berdiri di pelatarannya saja sudah cukup membuat kami terkesima. Gerbang-gerbang emas, taman simetris, dan bangunan kokoh yang dijaga oleh para penjaga berseragam rapi—semuanya menyiratkan kehormatan dan sejarah yang panjang.
Tak jauh dari sana, kami mengunjungi Kasbah of the Udayas, sebuah benteng tua di atas tebing yang menghadap ke Samudra Atlantik. Gang-gangnya sempit dengan rumah bercat putih-biru seperti di Chefchaouen, tapi lebih tenang dan jauh dari keramaian turis. Kami duduk sejenak di taman Andalusia di dalam kasbah, meresapi angin laut dan suara burung camar—sebuah ketenangan yang sulit dicari dalam perjalanan.
Kemudian kami berhenti di Mausoleum Mohammed V, tempat peristirahatan Raja Maroko yang dihormati karena perannya dalam kemerdekaan negara ini. Tak jauh darinya berdiri Hassan Tower, menara masjid yang tak pernah selesai dibangun, tapi tetap menjulang megah dengan aura mistik. Batu-batu penyangga yang tersebar seperti puzzle tak selesai menjadi simbol kekuatan dan kerendahan hati.
Yang membuat momen ini lebih spesial? Kami berdiri di Rue Soekarno—ya, jalan di ibu kota Maroko yang dinamai dari Presiden pertama Indonesia. Rasanya seperti menemukan secuil tanah air di benua lain. Sebuah pengingat bahwa persaudaraan Muslim dan semangat kemerdekaan pernah menyatukan bangsa-bangsa yang jauh secara geografis, tapi dekat secara jiwa.
Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Tangier, kota paling utara Maroko yang menghadap langsung ke Eropa, sekitar 3,5 jam dari Rabat. Sepanjang perjalanan, hamparan tanah tandus dan desa-desa kecil menjadi pemandangan yang menemani.
Menjelang senja, kami tiba di Cap Spartel, titik tempat Samudra Atlantik bertemu Laut Mediterania. Di sinilah dua lautan saling berpelukan, dan angin berhembus kencang membawa aroma asin yang menusuk hidung. Kami berdiri di pinggir tebing, menatap laut luas sambil merenung—bahwa sebentar lagi kami akan melintasi ke benua Eropa, melanjutkan jejak Islam ke arah yang lebih jauh.
Hari ditutup dengan makan malam hangat dan check-in hotel di Tangier. Malam ini kami tidur di kota pelabuhan yang tenang, menyimpan mimpi tentang tanah seberang yang akan kami jelajahi esok hari.
“Di hari keempat ini, kami menyentuh denyut nadi Maroko: dari istana raja, makam pahlawan, hingga titik pertemuan dua samudra. Setiap langkah terasa seperti bab dalam buku sejarah yang hidup.”
0 Comment