Pagi itu, udara Marakesh masih sejuk ketika kami bersiap meninggalkan kota penuh warna ini. Sarapan terakhir di riad terasa sentimental—roti pipih hangat, selai aprikot buatan sendiri, dan teh mint yang mengepul dalam gelas kaca mungil. Kami check-out dengan hati yang masih menggenggam kisah kemarin: istana, pasar, dan alun-alun yang tak pernah tidur.

Perjalanan darat sekitar tiga jam membawa kami menuju Casablanca, kota pelabuhan yang terkenal sebagai pusat ekonomi Maroko. Namun bagi kami, hari ini bukan tentang gedung-gedung tinggi—melainkan tentang menelusuri sisi lain dari Maroko: sisi urban yang anggun, terstruktur, namun tetap sarat sejarah.

Tujuan pertama kami adalah Mohammed V Square, alun-alun modern yang menjadi jantung administratif kota. Di sekelilingnya berdiri bangunan-bangunan bergaya arsitektur kolonial Prancis dengan sentuhan Moorish, seolah menyatukan dua dunia dalam satu panorama. Burung-burung camar beterbangan di atas air mancur tengah alun-alun, dan kami duduk sejenak, meresapi harmoni Casablanca yang berbeda dari hiruk-pikuk Marakesh.

Kami melanjutkan city tour ke Habbous Quarter, sebuah distrik tua yang terasa seperti permata tersembunyi. Lorong-lorongnya bersih, penuh toko buku, penjual kurma, dan roti tradisional. Habbous seperti Marakesh dalam versi yang lebih tenang dan elegan. Di sinilah kami mulai menyadari bahwa Maroko memiliki banyak wajah—dan semuanya memesona.

Waktu Dzuhur membawa kami ke tempat yang mungkin paling kami nantikan hari ini: Masjid Hassan II. Masjid terbesar di Afrika ini berdiri megah di tepi Samudera Atlantik, dengan menara setinggi 210 meter yang seolah menusuk langit.
Saat kami melangkah masuk untuk sholat, karpet tebal menyambut kaki yang lelah, dan dinding marmer seolah berbisik doa. Ketika sujud di masjid ini, terasa kecilnya diri kami di hadapan kemegahan arsitektur dan keagungan Sang Pencipta.

Usai beribadah, kami menyusuri traditional bazaar, pasar lokal yang menawarkan berbagai barang unik: keramik bercorak khas, minyak argan, lampu tembaga, dan rempah-rempah dalam warna mencolok. Di sini, tawar-menawar bukan sekadar transaksi—tapi seni yang melibatkan senyum dan sapaan hangat.

Malam menjelang, kami makan malam bersama di restoran lokal. Masakan seafood segar terasa istimewa di kota tepi laut ini. Suasana akrab, canda tawa mulai akrab di antara kami yang awalnya hanya saling kenal dari daftar peserta.

Check-in hotel menjadi penutup hari. Tubuh lelah, tapi hati hangat. Casablanca telah memberikan nuansa berbeda—lebih modern, lebih megah, namun tetap penuh jiwa.

“Hari ini kami menyatu dengan dua sisi Maroko: keheningan spiritual dan riuhnya pasar rakyat, kemegahan samudera dan kesederhanaan budaya. Casablanca mengajarkan kami bahwa modernitas bisa berdampingan dengan keindahan tradisi.”